Selasa, 26 Maret 2019

Pembagian Pola Hujan Wilayah Indonesia Berdasarkan Distribusi Curah Hujan Bulanan


Pembagian Pola Hujan Wilayah Indonesia Berdasarkan Distribusi Curah Hujan Bulanan

BMG Berdasarkan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, umumnya wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) pola hujan, yaitu :
1. Pola hujan monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan,DJF musim hujan,JJA musim kemarau).
2. Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks.
3. Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun.

Pengertian Hujan Muson


Pengertian Hujan Muson

Hujan muson merupakan hujan yang terjadi karena Angin Musim (Angin Muson). Penyebab terjadinya Angin Muson adalah karena adanya pergerakan semu tahunan Matahari antara Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia, secara teoritis hujan muson terjadi bulan Oktober sampai April. Sementara di kawasan Asia Timur terjadi bulan Mei sampai Agustus.

Pengertian Hujan Frontal


Pengertian Hujan Frontal

Hujan frontal merupakan hujan yang terjadi apabila massa udara yang dingin bertemu dengan massa udara yang panas. Tempat pertemuan antara kedua massa itu disebut bidang front. Karena lebih berat massa udara dingin lebih berada di bawah. Di sekitar bidang front inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan frontal.

Pengertian Hujan Orografis


Pengertian Hujan Orografis

Hujan orografis merupakan hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air yang bergerak horisontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar pegunungan.

Pengertian Hujan Zenithal


Pengertian Hujan Zenithal

Hujan zenithal merupakan hujan yang sering terjadi di daerah sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat Timur Laut dengan Angin Pasat Tenggara. Kemudian angin tersebut naik dan membentuk gumpalan-gumpalan awan di sekitar ekuator yang berakibat awan menjadi jenuh dan turunlah hujan.

Jenis Hujan Berdasarkan Penyebab Terjadinya


Berdasarkan terjadinya, hujan dibedakan menjadi:
  • Hujan siklonal, yaitu hujan yang terjadi karena udara panas yang naik disertai dengan angin berputar.
  • Hujan zenithal, yaitu hujan yang sering terjadi di daerah sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat Timur Laut dengan Angin Pasat Tenggara. Kemudian angin tersebut naik dan membentuk gumpalan-gumpalan awan di sekitar ekuator yang berakibat awan menjadi jenuh dan turunlah hujan.
  • Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air yang bergerak horisontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar pegunungan.
  • Hujan frontal, yaitu hujan yang terjadi apabila massa udara yang dingin bertemu dengan massa udara yang panas. Tempat pertemuan antara kedua massa itu disebut bidang front. Karena lebih berat massa udara dingin lebih berada di bawah. Di sekitar bidang front inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan frontal.
  • Hujan muson, yaitu hujan yang terjadi karena Angin Musim (Angin Muson). Penyebab terjadinya Angin Muson adalah karena adanya pergerakan semu tahunan Matahari antara Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia, secara teoritis hujan muson terjadi bulan Oktober sampai April. Sementara di kawasan Asia Timur terjadi bulan Mei sampai Agustus.

Sejarah Kodifikasi Hadis dari Periode Pertama hingga Periode Keempat


Sejarah Kodifikasi Hadits dari Periode Pertama hingga Periode Keempat

Periode Pertama
              Periode ini bermula dari rentang hidup Nabîyullôh Muhammad Shallâllâhu ‘alayhi wa Sallam sampai abad pertama hijrîyah. Pada masa ini, ahâdîts dikumpulkan dengan cara hafalan, pengajaran dan penghimpunan (tadwîn). Para penghafal terkenal diantaranya adalah:
1.       Abū Hurayrah (‘Abdurrahmân) Radhîyallôhu ‘anhu, beliau wafat tahun 59 H pada usia 78 tahun. Beliau meriwayatkan 5374 ahâdîts. Murid beliau berjumlah hampir 800 orang.
2.      ‘Abdullôh bin ‘Abbâs Radhîyallôhu ‘anhu, beliau wafat tahun 68 pada usia 71 tahun. Beliau meriwayatkan 2660 hadîts.
3.       ‘Ậ`isyah ash-Shiddîqah Radhîyallôhu ‘anhâ, beliau wafat tahun 58 pada usia 67 tahun. Beliau meriwayatkan 2210 hadîts.
4.      ‘Abdullôh bin ‘Umar Radhîyallôhu ‘anhu, beliau wafat tahun 73 pada usia 84 tahun. Beliau meriwayatkan 1630 hadîts.
Selain keempat penghafal hadits terkenal tersebut masih banyak sekali penghafal lainnya yang berasal dari kalangan sahabat, dan Tâbi’în lainnya.
Karya tulis Hadits pada periode pertama diantaranya adalah :
1.      Shahîfah ash-Shâdiqah Shahifah ini dinisbatkan kepada ‘Abdullôh bin ‘Amr bin ‘Ash (w. 63H pada usia 77 tahun). Beliau memiliki kecintaan yang sangat besar di dalam menulis dan mencatat. Apa saja yang beliau dengar dari Nabi Muhammad Shallâllâhu ‘alayhi wa Sallam akan segera beliau catat. Beliau secara pribadi mendapatkan izin khusus dari Nabi Shallâllâhu ‘alayhi wa Sallam. Risalah beliau ini terdiri dari sekitar 1000 ahâdîts. Risalah ini tetap dijaga dan dipelihara oleh keluarga beliau dalam waktu yang lama. Semua isi risalah ini dapat ditemukan di dalam Musnad Imâm Ahmad Rahimahullôh.
2.      Shahîfah ash-Shahîhah Shahifah ini dinisbatkan kepada Humâm bin Munabbih (w. 101H). Beliau termasuk murid terkenal Abū Hurayrah Radhiyallôhu ‘anhu. Beliau menuliskan semua ahâdîts dari gurunya. Salinan manuskrip ini masih tersedia di Perpustakaan Berlin di Jerman dan di Perpustakaan Damaskus (Suriah). Imâm Ahmad bin Hanbal Rahimahullôh telah mengkategorisasikan semua isi Shahîfah ini di dalam Musnad-nya di bawah bab riwayat Abū Hurayrah Radhiyallôhu ‘anhu. 2 Risalah ini, setelah upaya tahqîq mengagumkan yang dilakukan oleh Dr. Hamîdullâh, telah dicetak dan didistribusikan di Hyderabad (Deccan). Risalah ini mengandung 138 riwayat. Shâhifah ini, merupakan bagian (juz`) dari ahâdîts yang diriwayatkan dari Abū Hurayrah dan mayoritas riwayat-riwayatnya terdapat di dalam Bukhârî dan Muslim, yang kata-kata dalam ahâdîts-nya hampir sama semua dan tidak ada perbedaan mencolok.
3.      Shahîfah Basyîr bin Nahîk. Beliau adalah murid Abū Hurayrah Radhiyallôhu ‘anhu. Beliau juga mengumpulkan dan menulis sebuah risalah ahâdîts yang beliau bacakan kepada Abū Hurayrah Radhiyallôhu ‘anhu, sebelum mereka meninggal dunia beliau telah memeriksanya.3
4.      Musnad Abū Hurayrah Radhiyallôhu ‘anhu, Musnad ini ditulis selama masa sahabat. Salinan Musnad ini ada pada ayahanda ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz Radhiyallôhu ‘anhu, yaitu ‘Abdul ‘Azîz bin Marwân, seorang Gubernur Mesir yang meninggal pada tahun 86H. Beliau menulis kepada Katsîr bin Murrah memerintahkannya untuk menulis semua hadîts yang didengarnya dari para sahabat lalu mengirimkannya kepadanya. Di dalam surat perintahnya ini, beliau mengatakan pada Katsîr tidak perlu mengirimkan ahâdîts riwayat Abū Hurayrah, karena beliau telah memilikinya. Musnad Abū Hurayrah Radhiyallôhu ‘anhu ini ditulis kembali dalam bentuk tulisan tangan oleh Ibnu Taymîyah Rahimahullôh, dan tulisan tangan ini masih tersedia di Perpustakaan Jerman.
              Selain keempat periwayat tersebut, periwat hadist lainnya di periode pertama ini adalah Shahîfah ‘Alî Radhiyallôhu ‘anhu, Khutbah Terakhir Nabi Shallâllâhu ‘alayhi wa Sa llam, Shahîfah Jâbir Radhiyallôhu ‘anhu, Riwayat ‘Ậ`isyah ash-Shiddîqah Radhiyallôhu ‘anhâ, Ahâdîts Ibnu ‘Abbâs Radhiyallôhu ‘anhu, Shahîfah Anas bin Mâlik Radhiyallôhu ‘anhu, Risâ lah Samūroh bin Jundub Radhiya llôhu ‘anhu, Sa’ad bin ‘Ubâdah Radhiya llôhu ‘anhu, Maktūb Nâfi’ Radhiya llôhu ‘anhu, ‘Abdullôh bin Mas’ūd Radhiyallôhu ‘anhu.

Periode Kedua
              Periode kedua dimulai dari sekitar pertengahan abad kedua hijrîyah. Selama periode ini, sejumlah besar tâbi’în mulai menghimpun karya mereka dalam bentuk buku. Penghimpun Hadist pada periode kedua ini salah satunya adalah Muhammad bin Syihâb az-Zuhrî Rahimahullôh (w. 124H). Beliau dianggap sebagai ‘ulamâ` hadîts terbesar di zamannya. Beliau menimba ilmu dari orang-orang besar. Pada tahun 101H, beliau diperintahkan oleh ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz Rahimahullôh untuk mengumpulkan dan menghimpun hadîts. Selain itu juga, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz Rahimahullôh memberikan perintah kepada Gubernur Madînah, Abū Bakr Muhammad bin ‘Amrū bin Hazm untuk menuliskan semua ahâdîts yang dimiliki oleh ‘Umrah bintu ‘Abdirrahmân dan Qâsim bin Muhammad. Ketika ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz Rahimahullôh memerintahkan semua orang yang bertanggung jawab di negara Islam untuk mengumpulkan ahâdîts, kumpulan itu berbentuk sebuah buku. Ketika mereka sampai ke ibukota Damaskus, salinan kopi buku tersebut dikirimkan ke semua penjuru negeri Islam.1 6 Setelah Imâm az-Zuhrî Rahimahullôh mulai mengumpulkan ahâdîts, ahli ‘ilmu lainnya mulai turut bergabung dengan beliau.
              Karya tulis pada periode kedua antara lain Muwaththo` Imâm Mâlik, Selama rentang waktu ini, sejumlah buku hadîts telah disusun, Muwaththo` memiliki kedudukan tersendiri pada periode ini. Buku ini ditulis antara tahun 130H sampai 141H. Buku ini memiliki kurang lebih 1.720 ahâdîts, diantaranya adalah 600 hadîts-nya marfū’ (terangkat sampai kepada Nabi Shallâllâhu ’alayhi wa Sallam), 222 hadîts-nya mursal (adanya perawi sahabat yang digugurkan), 617 hadîts-nya mauquf (terhenti sampai kepada tâbi’î), dan • 275 sisanya adalah ucapan tâbi’ūn. Selain itu, buku hadist yang terhimpun pada periode ini antara lain Jâmi’ Sufyân ats-Tsaurî (w. 161H), Jâmi’ ’Abdullôh ibn al-Mubârok (w. 181H), Jâmi’ Imâm al-Auzâ’î (w. 157H), Jâmi’ Ibnu Juraij (w. 150H), Kitâbul Akhrâ j karya Qâdhî Abū Yūsuf (w. 182H), dan Kitâbul Atsâr karya Imâm Muhammad (w. 189H). Pada rentang periode dua inilah, ahadits Nabîyullôh Shallâllâhu ’alayhi wa Sallam, âtsâr para sahabat dan fatâwâ para tâbi’în dihimpun beserta syarh (penjelasan) tertentu dari ucapan sahabat, tâbi’în atau hadîts Nabî Shallâllâhu ’alayhi wa Sallam.

Periode Ketiga
              Periode ini dimulai dari abad kedua hijrîyah dampai akhir abad keempat hijrîyah. Karakteristik periode ini antara lain, Ahâdîts Nabi, âtsâr sahabat dan aqwâl (ucapan) tâbi’în dikategorisasikan, dipisahkan dan dibedakan, Riwayat yang maqbūlah (diterima) dihimpun secara terpisah dan buku-buku pada abad kedua diperiksa kembali dan di-tashhîh (diautentikasi). Selama periode ini, bukan hanya riwayat yang dikumpulkan, namun untuk memelihara dan menjaga hadîts, para ulamâ` menformulasikan ilmu yang berkaitan dengan hadîts (lebih dari 100 ilmu1 9) dimana ribuan buku mengenai ini telah ditulis. ’Ulūmul Hadîts pada periode ini antara lain:
1.      Asmâ`ur Rijâl, Pada ilmu ini, keadaan, lahir, wafat, guru dan murid-murid perawi dikumpulkan dan dihimpun secara terperinci, dan berdasarkan perincian perawi ini, seorang perawi dapat dinilai akan sifat shidq (ke jujuran), tsiqqoh (kredibilitas) atau ketidak-tsiqqoh-annya. Ilmu ini sangat menarik. Perincian sebanyak lebih dari 500.000 perawi telah disusun.
2.      ’Ilmu Mushtholâhul Hadîts (’Ushūlul Hadîts). Dengan arahan ilmu inilah, standar dan hukum ahâdîts serta keshahihan dan kedha’ifan suatu hadîts dapat ditegakkan.
3.      ’Ilmu Ghorîbul Hadîts. Di dalam ilmu ini, kata-kata dan makna yang sulit diteliti dan dipela jari. Diantara buku dalam ilmu ini adalah : Al-Fâ`iq karya az-Zamakhsyârî, An-Nihâyah karya al-Ma’rūf Ibnu ’Atsîr.
4.      ’Ilmu Takhrîjul Hadîts. Dari ilmu ini kita dapat menemukan dimana (sumber) suatu hadîts yang berkaitan dengan ilmu tertentu yang banyak ditemukan dari buku-buku tafsîr, ’aqîdah ataupun fiqh, seperti : Al-Hidâyah26 karya Burhânuddîn ’Alî bin Abî Bakr alMarghânî (w.592H), Ihyâ` ’Ulūmuddîn karya Abū Hâmid al-Ghozâlî (w.505H). Kedua buku di atas ini, memiliki banyak riwayat tanpa isnâd atau sumber. Apabila seseorang ingin mengetahui derajat atau sumber ahâdîts pada kedua buku ini dari buku hadîts terkenal, maka buku-buku pertama yang bisa dirujuk adalah :  Nashbur Râyah karya al-Hâfizh Zailâ’î (w. 792), Kitâbud Dirôyah karya al-Hâfizh Ibnu Ha jar al-Asqolânî (w.852H), dan Al-Mughnî ’an Hamlil Ashfâr karya al-Hâfizh Zainuddîn alIrâqî (w.806H).
5.      ’Ilmu a l-Hadîts al-Maudhū’ah. Dalam ilmu ini, ahli ilmu menuliskan sebuah buku khusus, dimana mereka memisahkan antara hadîts maudhū’ (palsu) dengan hadîts shahîh.
6.      ’Ilmu Nâsikh wa l Mansūkh. Di dalam ilmu ini, salah satu karya terkenal adalah Kitâbul I’tibâr karya Muhammad Mūsâ al-Hâzimî (w.784H pada usia 35 tahun).2
7.      ’Ilmu at-Taufîq Baynal Hadîts. Di dalam ilmu ini, ahâdîts shahîhah yang saling kontradiktif (tanâqudh) satu dengan lainnya, dibahas dan diselesaikan.
8.      ’Ilmu Mukhta lif wa l Mu’ta laf. Ilmu ini menyebutkan nama-nama perawi, kunyah (julukan), gelar, orang tua, ayah atau guru mereka, yang sama/mirip antara perawi satu dengan yang lainnya, sehingga seorang peneliti dapat melakukan kesalahan karenanya.
9.      ’Ilmu Athrôful Hadîts. Ilmu ini memudahkan untuk mencari sebuah riwayat dan buku hadîts serta para perawinya dapat ditemukan di dalam ilmu ini. Sebagai contoh, penggalan pertama hadîts : ”Sesungguhnya setiap ’amal itu tergantung niatnya...”, apabila anda ingin mendapatkan semua kata pada hadîts tersebut sekaligus perawinya, maka anda perlu merujuk pada ilmu ini dan buku-buku yang ditulis dalam bidang ilmu ini.
10.  Fiqhul Hadîts. Di dalam ilmu ini, semua hadîts shahîh yang berkaitan dengan ahkâm dan perintah dikumpulkan.
              Penyusun hadits pada periode ketiga antara lain, Imâm Ahmad bin Hanbal rahimahullôhu (164-241H), . Imâm Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî rahimahullôhu (194-246H), Imâm Mus lim bin Hajjâj al-Qushayrî rahimahullôhu (202-261H), Abū Dâwud Asy’âts bin Sulaymân as-Sijistânî rahimahullôhu (204-275H), Imâm Abū Ỉsâ at-Tirm idz î rahimahullôhu (209-279H), Imâm Ahmad bin Syu’a ib an-Nasâ`î rahimahullôhu (w.303H), dan Imâm Muhammad bin Yazîd bin Mâjah al-Qazdiânî rahimahullôhu (w.273H).
              Thobaqôt (Tingkatan) Buku-Buku Hadîts Berdasarkan landasan dan istilah hadîts serta keterpercayaan para perawinya, Muwaththo’ Imâm Mâlik, Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim, memiliki derajat tingkatan tertinggi. Abū Dâwud, at-Tirmidzî dan an-Nasâ`î, keterpercayaan para perawinya di bawah kategori pertama, namun mereka masih dianggap dan dipercaya. Kategori ini juga mencakup Musnad Ahmad. Ad-Dârimî (w.225H), Ibnu Mâ jah, al- Baihâqî, ad-Dâruquthnî (w.358H). buku-buku ath-Thabrânî (w.360H), buku-buku ath-Thohâwî (w.321H), Musnad Imâm asy-Syâfi’î dan Mustadrak al-Hâkim (w.405H), buku-buku ini mengandung semua macam hadîts, baik yang shahîh maupun yang dha’îf. Buku-buku Ibnu Jarîr ath-Thobarî (w.310H), buku-buku alKhathîb al- Baghdâdî (w.463H), Abu Nu’aim (w.403H), Ibnu ’Asâkir (w.571H), ad-Daylâmî (w.509H) penulis Firdaus, alKâmil karya Ibnu ’Adî (w.35H), buku-buku Ibnu Marūdîyah (w.410H), al-Wâqidî (w.207H) dan buku-buku lainnya yang termasuk dalam kategori ini. Kesemua buku-buku ini adalah himpunan riwayat yang mengandung riwayat-riwayat palsu (maudhū’). Sekiranya buku-buku ini diteliti, niscaya akan banyak faidah yang dapat diperoleh.

Periode Keempat
                   Periode ini, dimulai dari abad kelima hijrîyah sampai hari ini. Karya-karya yang telah dihasilkan pada periode ini antara lain :
1.       Penjelasan (Syarh), catatan kaki (hasyiah) dan penterjemahan buku-buku hadîts ke dalam berbagai bahasa.
2.       Lebih banyak buku-buku dalam ilmu hadîts yang disebutkan, disyarh dan diringkas.
3.       Para ’ulamâ`, dengan kecerdasan dan didorong kebutuhan mereka terhadap ilmu hadîts, menyusun buku-buku hadîts yang dicuplik dari buku-buku yang telah ditulis dan disusun pada abad ketiga. Diantaranya adalah :
• Misykâtus Mashâbih karya Walîyuddîn Khathîb. Di dalam buku ini, riwayat-riwayatnya disusun berdasarkan masalah ’aqîdah, ’ibâdah, mu’amâlah dan akhlâq.
• Riyâdhush Shâlihîn karya Imâm Abū Zakâriyâ Yahyâ bin Syarf an-Nawawî (w.676H), pensyarah kitab Shâhîh Muslim.Buku ini menghimpun masalah akhlâq dan âdab secara umum. Tiap temanya senantiasa diawali dengan ayatayat al-Qur`ân yang berkaitan dengan tema. Hal ini merupakan ciri utama buku ini, dan metode ini pula yang ditempuh di dalam Shâhîh al-Bukhârî.
• Muntaqâ al-Akhbâr karya Mujaddid ad- Dîn Abūl Barakât ’Abdus Salâm bin Taimîyah (w.652H). Beliau adalah kakek dari Syaikhul Islâm Taqîyuddîn Ahmad bin Taimîyah (w.728H). Qâdhî asy-Syaukânî menulis sebuah syarh buku ini dalam 8 jilid, yang berjudul Nailul Awthâr.
• Bulūghul Marâm karya Ibnu Hajar al-Asqolânî (w.852H), pensyarah kitab Shâhîh al-Bukhârî. Buku ini, utamanya tersusun atas hadîts-hadîts yang berkaitan dengan ‘ibâdah dan mu’âmalah. Syarh (penjelasan) buku ini dilakukan oleh Muhammad Ismâ’îl ash-Shon’anî (w.1182H) di dalam buku beliau yang berjudul Subulus Salâm Syarh Bulūghil Marâm. Adalagi syarh dalam bahasa Farsî (Persia) yang ditulis oleh Syaikh Nawwâb Shiddîq Hasan Khân al- Bupâlî (w.1307) yang berjudul Masâkul Khatâm Syarh Bulūghil Marâm. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu. Syaikh ‘Abdul Haqq Muhaddits ad-Dihlawî bin Saif at-Turkî (w.1052) yang menyebarkan penga jaran hadîts di India. Setelah beliau, dakwah ini disebarkan oleh Syah Walîyullâh ad-Dihlâwî (w.1176) dan keturunan beliau serta murid-murid beliau. Penterjemahan buku-buku hadîts ini memulai babak baru, dimana buku-buku hadîts disyarh, dicetak dan disebarkan, dan hal ini tetap terus berlangsung sampai hari ini. Risalah yang ada di tangan anda sekarang ini juga merupakan salah satu bagian dari upaya ini. Saya sendiri juga telah menulis sebuah risalah, dimana saya menghimpun di dalamnya kurang lebih sebanyak 400 ahâdîts. Risalah ini dicetak tahun 1956 dengan judul Intikhâb-e-hadîts.



 Sumber: 
Al-Hindî, Fadhîlatusy Syaikh ‘Abdul Ghoffâr Hasan ar-Rahmânî . 2007.  “Pengantar Sejarah            Tadwỉn (Pengumpulan) Hadỉts”. Jakarta: Maktabah Abu Salma.
Saputra, Ian. 2013. “Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah – KTB”.  Jakarta: PISS-KTB.

Penulisan dan Kodifikasi Hadits


Penulisan dan Kodifikasi Hadits

              Meyakini bahwa hadits baru ditulis satu abad sesudah Nabi saw meninggal dunia, adalah sebuah kesalahan fatal. Jika yang dimaksud adalah kodifikasi hadits dalam kitab semisal Shahih al Bukhari, Musnad Ahmad, dan sebagainya, maka itu bisa dibenarkan. Tapi jauh sebelum itu, hadits juga sudah di-tadwin (dihimpun dalam satu tulisan) oleh para shahabat dan tabiin. Sebagiannya dilakukan oleh Nabi saw melalui instruksinya untuk menuliskan hukum hukum yang berkaitan dengan zakat, diyat, pembebasan tawanan, dan ajukan masuk lslam ke berbagai penguasa waktu itu.
              Abu Hurairah yang menurut Baqi ibn Makhlad meriwayatkan 5.374 hadits, dilaporkan memiliki kitab hadits sendiri (riset terakhir menyatakan 1.236 hadits, yang lima ribu lebih hanya jumlah isnad-nya) Paling sedikit sembilan dari murid Abu Hurairah mencatat hadits dari dia.
              Ibn ‘Umar yang menurut Bagi meriwayatkan 2.630 hadits juga terdapat laporan otentik bahwa ia memiliki koleksi hadits tertulis. Setidaknya delapan dari murid-muridnya mencatat hadits dari dia
              Anas ibn Malik yang melayani Nabi saw selama 10 tahun mernwayatkan 2.286 hadits. Paling tidak enam belas orang mendapat hadits dari dia dalam bentuk tertulis. ‘Abdullah ibn Amr ibn al. Ash meriwayatkan 700 hadits. Dia sudah menulis hadits di masa Rasulullah saw hidup melalui kitabnya yang dinamakan as-Shahifah as-Shadiqah. Dalam Shahih a Bukhari, Abu Hurairah pernah menjelaskan
              Tidak ada seorang pun sahabat Nabi saw yang perbendaharaan haditsnya lebih banyak dariku, kecuali 'Abdullah ibn 'Amr, karena ia menulis sedangkan aku tidak menulis. M.M. a-Azhami dalam karyanya studies in Early Hadith iterature menyajikan data yang akurat perihal adanya tulis-menulis hadits dari sejak awal lslam. Berdasarkan penelitiannya, terdapat 52 orang shahabat dan 151 tabiin yang telah melakukan kegiatan penulisan hadits.



Sumber:
Al-Hindî, Fadhîlatusy Syaikh ‘Abdul Ghoffâr Hasan ar-Rahmânî . 2007.  “Pengantar Sejarah            Tadwỉn (Pengumpulan) Hadỉts”. Jakarta: Maktabah Abu Salma.

Saputra, Ian. 2013. “Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah – KTB”.  Jakarta: PISS-KTB.

Pendanaan Sumber Internal dan Eksternal Berikut Contohnya.

Dalam melakukan investasi, perusahaan seringkali membutuhkan tambahan dana yang cukup besar, baik yang bersumber dari internal, maupun ekst...